Pernahkah kalian bingung menyikapi hadirnya minimarket
waralaba seperti indomaret? Saya pernah. Terserah kalian pernah atau nggak.
Jadi gini. Kebingungan saya lebih karena isu menjamurnya
minimarket waralaba ini dikhawatirkan akan menjadi penghadang bagi usaha
menengah kecil yang bergerak di bidang yang sama. Ya jelas saja
minimarket-minimarket itu menjadi
penghadang dan penghambat, dilihat dari modalnya saja sudah berapa kali lebih
besar dibanding kios-kios kecil kaki lima di pinggir jalan yang sering kita
lihat. Tempat yang nyaman, bersih, adem,
barang yang lebih komplit, dan terkadang harganya lebih murah.
Saya salah satu pelanggan Indomaret kalau boleh jujur.
Paling tidak dalam sehari saya pasti membeli sebungkus rokok djarum super isi 16
di indomaret. Sebulan sekali paling tidak juga saya membeli kebutuhan saya
seperti sabun, sikat gigi, deodoran, aqua galon, dll. Dan dalam sehari saya
juga sering mengunjungi indomaret lebih dari sekali dalam rangka iseng pengen
jajan beng-beng, beli kopi, teh kotak, cemilan, dll.Intinya kalau boleh jujur,
saya bocahe indomaret.
Lalu dimana kepedulian saya terhadap sesama saya yang
sama-sama pelaku usaha menengah kecil ini?
Nah itu, terus terang saya bingung. Hidup saya sebagai orang
yang bekerja dibayar Yen (Yen ono
gawean lagi dibayar) menuntut saya untuk harus bisa mengelola keuangan saya
secara baik. Paling tidak itu yang saya baru konsen pelajari akhir-akhir ini. Buat
saya belanja di indomaret ini masalah penghematan bukan masalah gengsi. Bayangkan, saya tiap hari membeli sebungkus
rokok seharga Rp. 13.700,- di indomaret,
bandingkan dengan kalau saya membeli rokok yang sama di pedagang kaki lima atau
asongan yang rata-rata minimal menjualnya seharga Rp. 14.000,- (bahkan ada yang
lebih mahal dari itu). Terpaut Rp. 300,-. Cuma 300 perak sih, tapi sekarang
hitung perbulannya, Rp. 300,- x 30 hari = Rp. 9.000,-. Itu baru rokok yang saya
hitung, ada beberapa barang yang harus terbeli kan? Berbelanja di indomaret bisa menghemat
kira-kira Rp. 50.000,-/bulan dalam catatan saya. Duit segitu bagi saya lumayan,
bisa mensubsidi uang bensin motor saya sebulan.
Nah kalau gitu apakah saya
salah belanja di indomaret? Apakah belanja di indomaret termasuk tidak
mendukung usaha kecil?
Jadi gini lagi. Semua yang saya omongkan di atas ya berlaku
selama keuangan saya masih sehat. Ada kalanya saya cuma punya sedikit uang di
dompet saya (dan itu sering). Nah pas saya nggak punya uang yg cukup seperti
itu, kios-kios kaki limalah yang menjadi jujugan saya belanja. Kelemahan
indomaret adalah, mereka tidak menjual produk apapun dalam bentuk eceran/ketengan.
Dan dalam menjual eceran, kios-kios tadi jagonya. Kalau pas nggak punya duit ya
saya tetap membeli rokok, tapi ya nggak utuh satu bungkus. Saya membelinya
eceran, biasanya saya membeli per 6 batang, daripada mulut tidak ngebul ya
mending membeli rokok ngecer. Saya juga membeli kopi instan, milo, atau minuman
apapun ngecer per sachetnya, lumayan daripada nggak ngopi atau bosen kalau cuma
minum air putih. Semua itu tadi yang berbau ngecer atau ketengan hanya bisa
dibeli di kios-kios kaki lima atau toko-toko kecil lainnya, tidak di indomaret.
Saya rasa, buat saya itu cukup fair untuk memposisikan saya
sebagai pihak pembeli. Pihak pembeli yang pengen irit, rasional, dan membantu
sesama. Tuhan maha adil dan nggak pernah salah membagi rejeki untuk umatnya. Hidup
Indomaret dan para pengecer rokok!
No comments:
Post a Comment