04/07/2013

Tuhan Bersama Indomaret Dan Para Pengecer Rokok



Pernahkah kalian bingung menyikapi hadirnya minimarket waralaba seperti indomaret? Saya pernah. Terserah kalian pernah atau nggak.

Jadi gini. Kebingungan saya lebih karena isu menjamurnya minimarket waralaba ini dikhawatirkan akan menjadi penghadang bagi usaha menengah kecil yang bergerak di bidang yang sama. Ya jelas saja minimarket-minimarket itu  menjadi penghadang dan penghambat, dilihat dari modalnya saja sudah berapa kali lebih besar dibanding kios-kios kecil kaki lima di pinggir jalan yang sering kita lihat. Tempat yang nyaman, bersih,  adem, barang yang lebih komplit, dan terkadang harganya lebih murah.
Saya salah satu pelanggan Indomaret kalau boleh jujur. Paling tidak dalam sehari saya pasti membeli sebungkus rokok djarum super isi 16 di indomaret. Sebulan sekali paling tidak juga saya membeli kebutuhan saya seperti sabun, sikat gigi, deodoran, aqua galon, dll. Dan dalam sehari saya juga sering mengunjungi indomaret lebih dari sekali dalam rangka iseng pengen jajan beng-beng, beli kopi, teh kotak, cemilan, dll.Intinya kalau boleh jujur, saya bocahe indomaret. 

Lalu dimana kepedulian saya terhadap sesama saya yang sama-sama pelaku usaha menengah kecil ini?

Nah itu, terus terang saya bingung. Hidup saya sebagai orang yang bekerja dibayar Yen (Yen ono gawean lagi dibayar) menuntut saya untuk harus bisa mengelola keuangan saya secara baik. Paling tidak itu yang saya baru konsen pelajari akhir-akhir ini. Buat saya belanja di indomaret ini masalah penghematan bukan masalah gengsi.  Bayangkan, saya tiap hari membeli sebungkus rokok seharga Rp.  13.700,- di indomaret, bandingkan dengan kalau saya membeli rokok yang sama di pedagang kaki lima atau asongan yang rata-rata minimal menjualnya seharga Rp. 14.000,- (bahkan ada yang lebih mahal dari itu). Terpaut Rp. 300,-. Cuma 300 perak sih, tapi sekarang hitung perbulannya, Rp. 300,- x 30 hari = Rp. 9.000,-. Itu baru rokok yang saya hitung, ada beberapa barang yang harus terbeli kan?  Berbelanja di indomaret bisa menghemat kira-kira Rp. 50.000,-/bulan dalam catatan saya. Duit segitu bagi saya lumayan, bisa mensubsidi uang bensin motor saya sebulan. 

Nah kalau gitu apakah saya salah belanja di indomaret? Apakah belanja di indomaret termasuk tidak mendukung usaha kecil?

Jadi gini lagi. Semua yang saya omongkan di atas ya berlaku selama keuangan saya masih sehat. Ada kalanya saya cuma punya sedikit uang di dompet saya (dan itu sering). Nah pas saya nggak punya uang yg cukup seperti itu, kios-kios kaki limalah yang menjadi jujugan saya belanja. Kelemahan indomaret adalah, mereka tidak menjual produk apapun dalam bentuk eceran/ketengan. Dan dalam menjual eceran, kios-kios tadi jagonya. Kalau pas nggak punya duit ya saya tetap membeli rokok, tapi ya nggak utuh satu bungkus. Saya membelinya eceran, biasanya saya membeli per 6 batang, daripada mulut tidak ngebul ya mending membeli rokok ngecer. Saya juga membeli kopi instan, milo, atau minuman apapun ngecer per sachetnya, lumayan daripada nggak ngopi atau bosen kalau cuma minum air putih. Semua itu tadi yang berbau ngecer atau ketengan hanya bisa dibeli di kios-kios kaki lima atau toko-toko kecil lainnya, tidak di indomaret.


Saya rasa, buat saya itu cukup fair untuk memposisikan saya sebagai pihak pembeli. Pihak pembeli yang pengen irit, rasional, dan membantu sesama. Tuhan maha adil dan nggak pernah salah membagi rejeki untuk umatnya. Hidup Indomaret dan para pengecer rokok!

01/07/2013

Cincin Akik Jun

Sudah beberapa hari ini Jun resah. Cincin akik kesayangannya hilang. Seluruh rumahnya sudah diobrak-abrik tapi sampai sekarang hasilnya tetap nihil. Kemarin, lemari dapur sudah jadi korban kekalutannya. Dikeluarkannya seluruh piring, gelas, sendok garpu, serbet, hingga wajan teflon milik ibunya, tapi tetap sama hasilnya. Jun tidak menemukan cincin akiknya.
“Kamu nyari apa to Jun?” Tanya ibunya ketika melihat anaknya membongkar lemari dapur.
“Anu.. Nggak cari apa-apa kok Bu, ini cuma merapikan sambil liat-liat koleksi cangkir Ibu. Bagus ya Bu. Eh, ini dari Tiongkok ya bu?” Kata Jun sambil memperlihatkan kepada ibunya sebuah cangkir warna krem bertuliskan selamat tahun baru cina. Jun berusaha mengalihkan pembicaraan.  Ibunya tahu ada yang tidak beres dengan anak satu-satunya itu, tapi dia hanya menjawab dengan gumaman sambil berlalu meninggalkan Mas Jun di dapur.
Barusan, kolong dipan sudah digeledah Jun dengan bantuan lampu senter LED yang biasa dia bawa pada saat naik gunung. Tetap tidak ditemukan barang yang diinginkannya.
“Wuwungan rumah!” Kata Jun dalam hati.

Baca lanjutan ceritanya di vindrasu.com

12/02/2013

Sepiring Cerita Bumbu Lada Hitam


*

Rumah makan itu dibangun di pinggir perkampungan dengan hamparan sawah sebagai pemandangannya. Bangunannya hanya sederhana, dibangun dari tiang-tiang penyangga kayu glugu dan atapnya dari anyaman daun kelapa. Halaman depannya yang lebar diteduhi oleh beberapa pohon melinjo dan talok. Di saat malam, nyala obor yang dipasang berjajar mengelilingi rumah makan membuat hangat mata yang memandangnya.
Pemiliknya memberi nama tempat ini Heiho, konon katanya biar keliatan ke"Jepang-Jepangan". Padahal yang disajikan masakan rasa rempah-rempah ala Melayu, tempatnya bernuansa Jawa, dan musik yang diputar smooth jazz. Nggak nyambung semua. Tapi apalah arti sebuah nama, toh tempat ini tetap laris setiap harinya.
Malam itu, sepasang manusia terlihat masuk ke rumah makan, wajah mereka tampak cerah sumringah. Mereka berjalan bergandengan tangan dari motor yang diparkirnya menuju rumah makan. Bukan bergandengan, lebih tepatnya si perempuan memeluk lengan si pria. Mereka masuk dan lalu duduk di meja nomer 11.
Seorang pelayan datang menghampiri dan lalu menyodorkan sebuah buku menu kepada mereka. Mereka melihatnya beberapa saat lalu memilih makan malam mereka. Si perempuan lalu menulis pesanannya di atas secarik kertas kemudian menyerahkan kepada si pelayan. Si pelayan mengangguk kepada kedua tamunya lalu bergegas pergi menuju dapur dan memberikan kertas tulisan pesanan tadi kepada tukang masak.

Baca lanjutan ceritanya di vindrasu.com