*
Rumah makan itu dibangun di pinggir perkampungan dengan
hamparan sawah sebagai pemandangannya. Bangunannya hanya sederhana, dibangun
dari tiang-tiang penyangga kayu glugu dan atapnya dari anyaman daun kelapa.
Halaman depannya yang lebar diteduhi oleh beberapa pohon melinjo dan talok. Di
saat malam, nyala obor yang dipasang berjajar mengelilingi rumah makan membuat
hangat mata yang memandangnya.
Pemiliknya memberi nama tempat ini Heiho, konon katanya biar
keliatan ke"Jepang-Jepangan". Padahal yang disajikan masakan rasa rempah-rempah
ala Melayu, tempatnya bernuansa Jawa, dan musik yang diputar smooth jazz. Nggak
nyambung semua. Tapi apalah arti sebuah nama, toh tempat ini tetap laris setiap
harinya.
Malam itu, sepasang manusia terlihat masuk ke rumah makan,
wajah mereka tampak cerah sumringah. Mereka berjalan bergandengan tangan dari
motor yang diparkirnya menuju rumah makan. Bukan bergandengan, lebih tepatnya
si perempuan memeluk lengan si pria. Mereka masuk dan lalu duduk di meja nomer
11.
Seorang pelayan datang menghampiri dan lalu menyodorkan sebuah
buku menu kepada mereka. Mereka melihatnya beberapa saat lalu memilih makan malam
mereka. Si perempuan lalu menulis pesanannya di atas secarik kertas kemudian
menyerahkan kepada si pelayan. Si pelayan mengangguk kepada kedua tamunya lalu
bergegas pergi menuju dapur dan memberikan kertas tulisan pesanan tadi kepada tukang
masak.